portal kabar – Beberapa nama yang dipanggil oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk mengisi posisi calon menteri dan wakil menteri di kabinet mendatang, tampaknya tidak sepenuhnya bersih dari noda. Rekam jejak sejumlah sosok ini masih menyimpan catatan kelam, baik sebagai saksi maupun terlapor dalam kasus hukum. Bahkan, ada yang memiliki catatan pelanggaran etik di tempat kerjanya.
Contohnya, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, yang sempat tersangkut kasus suap dan gratifikasi oleh KPK pada tahun 2023. Untungnya, pada Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilannya dan mengangkat statusnya dari tersangka.
Ada juga Menpora Dito Ariotedjo yang diduga menerima aliran dana Rp27 miliar terkait kasus korupsi BTS 4G, meski ia membantahnya. Lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang pernah dimintai keterangan oleh Kejagung mengenai korupsi izin ekspor minyak sawit mentah, namun belum ada bukti keterlibatannya.
Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, berpendapat bahwa Prabowo perlu menjelaskan kepada publik mengapa masih memilih sosok-sosok dengan rekam jejak bermasalah. Ternyata, rekam jejak bersih dan etika bukanlah prioritas utama dalam pemilihan calon menteri atau wakil menteri.
Menurut Kunto, hal ini patut dicermati, terutama karena rekam jejak menteri di sektor ekonomi atau sosial sangat penting untuk bebas dari korupsi. “Agar sentimen pasar tetap positif,” ujarnya, Rabu (16/10/2024).
Prabowo tampaknya masih melanjutkan politik akomodatif ala Jokowi, yang lebih menekankan bagi-bagi jatah sebagai imbal balik dukungan. Ukuran kredibilitas dan kompetensi seolah nomor dua dibandingkan aroma kepentingan politik.
Kunto menilai praktik ini bermasalah, karena presiden lebih memilih menteri berdasarkan loyalitas daripada profesionalisme. “Pengalaman di era Jokowi menunjukkan kabinetnya lebih banyak dipengaruhi pertimbangan politik daripada profesionalitas,” tambahnya.
Untuk memperbaiki situasi ini, Kunto menganggap penjelasan dari Prabowo sangat penting untuk meredakan keraguan publik. Kabinet zaken yang diimpikannya tampak gagal terwujud karena kuatnya politik transaksi dalam pemilihan calon anggota kabinet. “Jadi, kabinet zaken ini sepertinya hanya angan-angan belaka,” tutup Kunto.
Selama dua hari awal pekan ini, Prabowo memanggil 108 sosok dari berbagai latar belakang, dengan 49 orang sebagai calon menteri dan 59 lainnya sebagai calon wakil menteri atau kepala lembaga. Mereka menghadap Prabowo di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan.
Namun, beberapa nama yang dipanggil masih memiliki catatan bermasalah. Misalnya, akademisi Anggito Abimanyu yang mundur dari UGM karena tuduhan plagiarisme. Ia mengaku ada kesalahan pengutipan referensi dalam komputernya. Kasus ini sempat menjadi perbincangan hangat pada 2014.
Ada juga pesohor Raffi Ahmad yang baru menerima gelar doktor kehormatan dari kampus yang ternyata bodong.
Etika seolah diabaikan. Ahli Hukum Tata Negara dari UGM, Herlambang P Wiratraman, berpendapat Prabowo seharusnya tidak memilih orang-orang dengan rekam jejak korupsi. “Bagaimana bisa memberantas korupsi jika ia sendiri terjerat kasus hukum?” ujarnya, Rabu (16/10/2024).
Herlambang menekankan pentingnya memilih sosok dengan rekam jejak etika yang baik. “Sosok yang pernah melanggar etika seharusnya tidak layak menjadi pejabat publik.”
Ia juga menilai nama-nama calon anggota kabinet yang muncul lebih didasari kepentingan politik. Prabowo seolah menjalankan politik akomodatif untuk meredam oposisi. “Ini tidak merefleksikan strategi memperkuat negara hukum yang demokratis,” tegasnya.
Peneliti dari Perludem, Annisa Alfath, juga melihat adanya nama-nama bermasalah dalam calon kabinet Prabowo menunjukkan bahwa etika dan rekam jejak bersih tidak menjadi prioritas. “Ini bisa menurunkan kepercayaan publik jika figur-figur ini terlibat skandal di masa depan,” ungkapnya.
Menghadapi waktu sempit sebelum pelantikan, Prabowo diminta untuk mengevaluasi ulang calon-calon yang punya catatan miring. Annisa menyarankan agar Prabowo mencari alternatif calon yang lebih bersih. “Pemilihan kabinet harus mempertimbangkan keseimbangan antara politik dan integritas,” katanya.
Manajer Riset dari TII, Arfianto Purbolaksono, masih menanti janji Prabowo untuk membentuk kabinet zaken. “Mimpi itu sudah runtuh dengan adanya politik akomodatif,” ujarnya.
Di sisi lain, Koalisi Indonesia Maju menilai Prabowo sudah menjaring sosok-sosok profesional. Ketua Fraksi Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, meyakinkan bahwa tim Prabowo telah melakukan profiling untuk menilai rekam jejak calon anggota kabinet. “Ini sudah melalui seleksi yang baik,” ujarnya.
Sarmuji menambahkan bahwa publik tidak perlu mempermasalahkan nama-nama dengan catatan miring, karena kasus-kasus tersebut masih berupa dugaan. “Kalau dugaan ya namanya dugaan, kalau tak terbukti secara hukum ngapain dibahas?” tutupnya.
Sumber Tirto/pram