portal kabar- Wetub Ilham Toatubun merasa miris melihat derasnya laporan dari masyarakat yang masuk ke lembaganya mengenai penahanan ijazah di sekolah. Staf advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, hampir 300 laporan telah diterima.
Beberapa sekolah diduga menahan ijazah karena orang tua siswa tidak mampu melunasi uang pungutan. Wetub menegaskan bahwa banyak dari mereka adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki surat keterangan tidak mampu. “Dan mereka punya surat keterangan tidak mampu,” ujar Wetub dengan nada prihatin pada Senin (14/10/2024).
Wetub menjelaskan bahwa ada wali kelas yang memiliki tunggakan hingga puluhan juta rupiah. Sekolah yang melakukan penahanan ijazah sebagian besar adalah sekolah swasta. Namun, ia juga menyayangkan bahwa beberapa sekolah negeri pun terlibat dalam praktik ini. Menurutnya, penahanan ijazah di sekolah jelas-jelas tidak bisa dibenarkan dan melanggar Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan.
“Di Pasal 37 jelas dilarang menahan ijazah atau sertifikat kelulusan, menghambat kegiatan belajar, atau melarang siswa mengikuti ujian karena utang pungutan,” jelas Wetub.
Ia menekankan bahwa aturan ini berlaku untuk semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Wetub merasa pemerintah daerah (pemda) DIY memiliki tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah ini. Sayangnya, ia tidak melihat keseriusan pemda dalam menangani masalah yang sudah berlangsung lama ini. Ia mencatat bahwa pemda DIY tidak memberikan sanksi atau teguran kepada sekolah yang menahan ijazah siswa.
Padahal, Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2013 sudah menjelaskan sanksi bagi satuan pendidikan yang melakukan penahanan ijazah siswa karena utang pungutan. “Ada juga sekolah negeri yang menahan ijazah, tapi kita tidak melihat sanksi tegas dari pemerintah DIY,” ungkap Wetub.
LBH Yogyakarta berpendapat bahwa meskipun sekolah swasta berada di bawah yayasan, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Wetub menilai pemda DIY terkesan membenturkan nasib siswa kurang mampu dengan nasib guru honorer, seolah-olah siswa yang berutang di sekolah swasta otomatis membuat gaji guru honorer berkurang. Seharusnya, pemda bisa mengatasi masalah ini dengan bijak. Jika pemerintah menyerahkan urusan utang piutang siswa kepada masyarakat, itu sama saja dengan lepas tangan.
“Kontraproduktif sekali jika Yogya disebut kota pendidikan. Seharusnya pemda DIY memprioritaskan pemenuhan hak asasi warga melalui pendidikan,” tegas Wetub.
Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) mengirimkan surat terbuka kepada Gubernur DIY sebagai bentuk keprihatinan atas situasi pendidikan di Yogyakarta. Mereka mengkritik praktik penahanan ijazah yang mengakibatkan siswa tidak bisa melanjutkan kuliah atau mencari pekerjaan setelah lulus.
Berdasarkan laporan AMPPY, sekitar 260 ijazah siswa SMA, SMK, dan MA di Yogyakarta ditahan oleh pihak sekolah. Beberapa alasan penahanan tersebut adalah tunggakan pembayaran seperti uang pembangunan, uang praktik, hingga pungutan biaya sumbangan.
Praktik penahanan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan laporan AMPPY menunjukkan bahwa ini terjadi sejak 2011. Namun, hingga kini belum ada peraturan resmi dari Pemerintah DIY mengenai penyerahan ijazah. AMPPY menggandeng LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum para orang tua siswa.
“Penahanan ijazah ini melanggar hak asasi manusia, semoga Kemenkumham bisa membantu kami mendorong pemerintah DIY untuk segera menyelesaikan masalah ini,” kata Aris, Ketua AMPPY, dalam konferensi pers di LBH Yogyakarta (10/10/2024).
Salah satu wali murid, S, mengaku sedih dengan kondisi ini. Dua tahun setelah lulus, putrinya belum mendapatkan pekerjaan karena ijazahnya ditahan sekolah. Karena masalah finansial, ia tidak mampu menebus kekurangan biaya sebesar satu juta. S sendiri mengaku tidak paham mengenai tunggakan biaya yang harus dipenuhi. Sebagai ibu rumah tangga, ia merasa ekonominya tidak mencukupi, sementara suaminya adalah buruh lepas.
“Saya pernah mengajukan bantuan dari Dinsos, tapi masih kurang. Kemarin disuruh mengajukan lagi, tapi belum ada respons,” jelasnya.
Menurut informasi, pihak dinas sudah mengumpulkan semua kepala sekolah, khususnya sekolah negeri, untuk segera memberikan ijazah. Namun, masih ada sekolah negeri yang menahan ijazah. Mayoritas sekolah yang melakukan penahanan ijazah adalah sekolah swasta, dengan alasan bahwa pengelolaan sekolah swasta tidak berada di bawah dinas. Berbeda dengan sekolah negeri yang dibiayai melalui dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOS), mekanisme sekolah swasta selama ini diupayakan dengan bantuan pemda DIY melalui Jaminan Keberlangsungan Pendidikan (JKP). Namun, hingga kini masih banyak siswa di Yogyakarta yang ijazahnya ditahan oleh sekolah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kasus penahanan ijazah siswa karena tunggakan pungutan adalah lagu lama yang terus berulang dan tidak mendapat perhatian pemerintah. Ia menduga jumlah kasus sebenarnya jauh lebih banyak daripada laporan yang masuk, bahkan bisa mencapai ribuan jika dihitung di seluruh Indonesia.
“Ada kemungkinan di Yogya juga bisa lebih dari ratusan, mungkin ribuan jika diakumulasikan,” ucap Ubaid.
Ia heran masih ada sekolah negeri yang melakukan praktik penahanan ijazah, yang sangat merugikan masa depan siswa. Akibatnya, siswa tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja formal karena tidak memiliki ijazah asli.
“Padahal ijazah adalah hak peserta didik yang sudah lulus. Jadi, sekolah tidak punya hak untuk menahan ijazah,” tegas Ubaid.
Ia menambahkan bahwa sekolah yang menahan ijazah sudah menghalangi hak asasi seseorang, dan orang tua siswa yang merasa dirugikan bisa melaporkan sekolah tersebut ke aparat penegak hukum. Ubaid juga menyebutkan bahwa sering kali sekolah yang menahan ijazah juga mengancam siswa secara tidak langsung.
“Pemerintah harus bertanggung jawab. Saya menduga ada kolusi antara pemda dan sekolah swasta. Sebenarnya siapa yang bertanggung jawab membiayai pendidikan?” tanyanya.
Ubaid merujuk pada Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa seluruh warga negara wajib mendapatkan pendidikan dasar dan negara wajib membiayainya. Pasal 28C Ayat 1 juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, termasuk pendidikan.
“UUD 45 tidak membedakan anak Indonesia yang sekolah di negeri dan swasta. Artinya, baik di negeri maupun swasta, pemerintah wajib bertanggung jawab soal pembiayaannya,” jelas Ubaid.
JPPI saat ini sedang mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 3/PUU-XXU/2024 untuk menguji UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 34 Ayat 2. Mereka menuntut pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa dan meminta pemerintah menjalankan amanat Pasal 31 UUD 1945.
Ubaid menyayangkan bahwa asosiasi sekolah swasta yang dihadirkan ke MK justru menolak usulan JPPI agar mereka juga didanai negara seperti sekolah negeri. Ia menilai sikap ini menunjukkan bahwa beberapa sekolah swasta lebih mementingkan keuntungan daripada menjalankan amanat mencerdaskan bangsa.
“Artinya, mereka tidak mau negara membiayai, [asosiasi sekolah] swasta menolak, ini aneh,” ucap Ubaid.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Didik Wardaya, menyatakan bahwa pihaknya tidak tinggal diam dan terus berupaya menebus ijazah siswa. Didik mengklaim bahwa setiap tahun pemda DIY merespons masalah ini dengan program JKP untuk membantu siswa melunasi pungutan sekolah.
“Tahun 2023 kita bebaskan 792 ijazah. Untuk sekolah swasta, tahun 2024 tahap 1 sudah kita bantu bebaskan 400-an ijazah dan tahap 2 masih dalam pendataan,” kata Didik.
Didik menilai tantangan saat ini adalah wali murid yang menyekolahkan anak di swasta perlu memahami bahwa operasional sekolah ditopang oleh masyarakat. Ia mengakui bahwa pemerintah tidak bisa sepenuhnya membantu biaya di sekolah swasta.
“Kesadaran wali murid bahwa operasional sekolah swasta bergantung pada partisipasi masyarakat, pemerintah sudah membantu, tapi belum bisa memenuhi semua,” pungkas Didik.
Sumber Tirto/pram