portal kabar – Irah-irah di setiap putusan pengadilan yang diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” seolah hanya menjadi formalitas belaka. Hal ini menunjukkan betapa jauh posisi hakim dari tanggung jawab moral yang seharusnya mereka emban sebagai wakil Tuhan. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, mungkin menganggap kalimat tersebut luhur, tetapi kenyataannya, Tuhan semakin dilupakan di ruang pengadilan.
Mafia peradilan yang berupa makelar perkara terus berkembang dengan subur, dan ini mencoreng wajah lembaga peradilan. Hakim-hakim yang seharusnya menjadi panutan justru terlibat dalam praktik korupsi. Bismar Siregar bahkan menyebut hakim sebagai “Hubungi Aku Kalau Ingin Menang,” yang menunjukkan betapa rendahnya integritas mereka.
Saat ini, banyak pengamat hukum sepakat bahwa sudah saatnya Mahkamah Agung (MA) dibersihkan dari praktik-praktik kotor. Pengusutan kasus dugaan korupsi yang melibatkan bekas pegawai MA, Zarof Ricar, menunjukkan betapa parahnya situasi ini. Temuan uang tunai dan emas di rumah Zarof hanya menambah bukti bahwa mafia peradilan telah merajalela.
Abdul Fickar Hadjar, pengajar hukum pidana, menilai MA terkesan lepas tangan terhadap tindakan Zarof yang sudah berlangsung lama. Dia menekankan bahwa pimpinan MA saat itu seharusnya ikut bertanggung jawab. Zarof, yang memiliki koneksi dengan hakim agung, seharusnya menjadi titik awal untuk membersihkan MA dari praktik mafia.
Kasus ini menunjukkan bahwa Badan Pengawas (Bawas) MA dan Komisi Yudisial (KY) tidak berfungsi dengan baik. Mafia peradilan masih ada, dan meskipun ada beberapa hakim agung yang terjerat, pengawasan yang dilakukan oleh Bawas dan KY tampak sia-sia.
Azmi Syahputra, dosen hukum pidana, menilai bahwa kasus Zarof mencerminkan kejahatan sistemik yang melibatkan berbagai tindak pidana. Kejagung perlu memperluas penyidikan untuk menemukan kolusi dan modus operandi yang lebih luas. Ketua MA harus bertindak tegas untuk merombak struktur internal yang sudah bobrok.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa penyidik masih mencari keterangan dari saksi lain, termasuk keluarga Zarof. Namun, harapan untuk mengungkap kasus ini tampak samar, mengingat banyaknya uang dan emas yang terlibat.
Julius Ibrani dari PBHI menegaskan bahwa reformasi MA sangat tergantung pada progresifitas penyidikan yang dilakukan Kejagung. Namun, melihat sejarah kasus makelar perkara, banyak pelaku yang enggan berbicara.
KY, meskipun memiliki kewenangan untuk mengusut, tampaknya tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya. Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengakui adanya lemahnya integritas hakim dan aparat pengadilan yang terjerat suap. Namun, apakah ada keinginan yang kuat untuk menyelesaikan masalah ini?
MA pun tidak mau mengambil tanggung jawab penuh atas penyidikan internal, menyerahkan sepenuhnya kepada Kejagung. Sementara itu, tim internal MA dibentuk untuk mengklarifikasi keterlibatan hakim agung, tetapi apakah ini akan menghasilkan perubahan yang berarti. Semua ini menunjukkan betapa parahnya kondisi peradilan kita saat ini.
Sumber Tirto/pram