portal kabar – Kediaman Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024), dipadati berbagai tokoh, mirip seperti acara audisi, di mana 49 calon ‘bintang’ dari beragam latar belakang bersaing untuk mengisi posisi menteri di kabinet baru. Semua tampil kompak dengan batik yang penuh warna, seolah-olah ada festival mode di sana.
Di antara para pengunjung, ada yang terkenal seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Demokrat dan Zulkifli Hasan dari PAN, yang jelas-jelas ingin menunjukkan dukungan mereka untuk Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Dan jangan lupakan Cak Imin dari PKB, yang tiba-tiba berubah haluan meski sebelumnya berseberangan.
Tak hanya politisi, Prabowo juga mengundang anak buah Presiden Jokowi, seperti Sri Mulyani dan Tito Karnavian, yang sepertinya masih ingin ikut berperan dalam pemerintahan. Dari kalangan aktivis pun ada Natalius Pigai, dan akademisi seperti Satryo Soemantri Brodjonegoro tak ketinggalan.
Perwakilan NU dan Muhammadiyah juga meramaikan daftar panggilan, termasuk Gus Ipul dan Abdul Mu’ti. Bahkan, Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, dan mantan istri Ahok, Veronica Tan, turut diundang. Sepertinya Prabowo ingin memastikan semua ‘kekuatan’ politik hadir tanpa ada yang tersisih.
Hari itu, bahkan perwakilan PDIP, Pramono Anung, ikut merapat ke Kertanegara, meski tak ada jaminan semua nama yang dipanggil akan duduk di kursi kabinet Prabowo-Gibran. Taktik Prabowo yang dikenal dengan ‘the winner takes all’ terlihat jelas, di mana semua lawan politik seolah dipeluknya, membuat oposisi nyaris tak berdaya.
Namun, langkah Prabowo ini menuai kritik. Beberapa pengamat menilai, langkahnya mengakomodasi kepentingan partai politik lebih dominan daripada profesionalitas. Menurut mereka, ini bisa mengancam prinsip check and balances dalam pemerintahan.
Cheryl Tanzil dari PSI berpendapat bahwa Prabowo sudah mempertimbangkan kredibilitas para calon menterinya. Tapi, apakah semua itu cukup untuk menjamin keberhasilan semua program yang digelontorkan?. Sepertinya, masih ada pertanyaan yang menggantung.
Sementara itu, Nasaruddin Umar dan Abdul Mu’ti mengaku kaget dengan panggilan mendadak untuk bergabung dalam kabinet. Mereka berdua seolah baru menyadari bahwa perjalanan politik kadang bisa seru dan tak terduga.
Di sisi lain, pengamat politik Arifki Chaniago mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial Indonesia, partai yang kalah tidak selalu menjadi oposisi, sehingga konsolidasi ini bukan hal yang aneh. Namun, apakah ini pertanda baik atau buruk bagi masa depan demokrasi kita.
Akhirnya, kita hanya bisa menunggu dan melihat siapa saja yang benar-benar akan duduk di kursi panas kabinet Prabowo-Gibran. Apakah mereka bisa membawa perubahan yang diharapkan, atau hanya akan menjadi drama politik belaka.
Sumber Tirto/pram