portal kabar – Tindakan Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) yang membekukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP setelah pemasangan karangan bunga satire untuk Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sangat disayangkan. Keputusan ini menunjukkan kurangnya toleransi terhadap ekspresi mahasiswa yang seharusnya menjadi bagian dari kultur akademis.
Dekan FISIP Unair, Bagong Suyanto, menganggap narasi dalam karangan bunga tersebut tidak sesuai dengan etika kampus, yang jelas-jelas mencerminkan sikap otoriter dan tidak menghargai kebebasan berpendapat. Surat pembekuan yang dikeluarkan, dan berlaku sejak 25 Oktober 2024, menunjukkan bahwa pihak dekanat lebih memilih untuk mengekang suara mahasiswa daripada mendengarkan aspirasi mereka.
Bagong berencana untuk mengadakan pertemuan dengan BEM FISIP pada 28 Oktober 2024, tetapi ini tampaknya hanya sebagai formalitas tanpa niat untuk memahami atau menyelesaikan masalah yang ada. Sikapnya yang enggan memberikan komentar lebih lanjut tentang karangan bunga satire dan pembekuan BEM FISIP hanya menambah kesan bahwa pihak dekanat tidak ingin terlibat dalam dialog yang konstruktif.
Presiden BEM FISIP Unair, Tuffahati Ulayyah, menjelaskan bahwa karangan bunga tersebut merupakan ungkapan kekecewaan atas Pemilu 2024. Namun, tindakan dekanat yang membekukan BEM justru menunjukkan bahwa mereka tidak siap menghadapi kritik atau pandangan yang berbeda. Karangan bunga yang berisi pesan satir tersebut, yang menjadi viral di media sosial, seharusnya dipandang sebagai bentuk partisipasi mahasiswa dalam demokrasi, bukan sebagai ancaman.
Dengan adanya pembekuan ini, jelas terlihat bahwa kebebasan berekspresi di kampus Unair sedang terancam. Tindakan ini menciptakan suasana yang tidak mendukung diskusi terbuka dan kritik yang sehat, yang seharusnya menjadi landasan bagi lingkungan akademis yang baik.
pram