portal kabar – Suara perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat terbuka untuk menghasilkan pengetahuan dan sikap ilmiah yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat. Namun, perkembangan ilmu dan pengetahuan tidak akan pernah dapat tumbuh dengan baik tanpa adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi di kampus.
Kritik terhadap status quo dan kekuasaan yang dianggap menyimpang dari tugasnya untuk kepentingan rakyat seharusnya menjadi bentuk ekspresi kebebasan di lingkungan perguruan tinggi. Sayangnya, budaya kritik yang seharusnya dijaga justru semakin terancam oleh gejala “pendisiplinan” di kampus. Ini menjadi sinyal bahaya bagi kebebasan akademik dan demokrasi secara umum.
Contoh nyata dari hal ini terjadi pada Jumat (25/10/2024) ketika BEM FISIP Universitas Airlangga (Unair) dibekukan oleh dekanat setelah menampilkan karangan bunga satire di Taman Barat kampus. Aksi ini dilakukan dua hari setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Karangan bunga tersebut bukanlah ucapan selamat, melainkan sindiran tajam terhadap keduanya.
Setelah dipanggil oleh Dewan Etika, kepengurusan BEM FISIP Unair dibekukan. Presiden BEM, Tuffahati Ulayyah, menyatakan bahwa karangan bunga itu adalah ungkapan kekecewaan terhadap Pemilu 2024. Meskipun pembekuan tersebut dicabut beberapa hari kemudian, hal ini menunjukkan bahwa kampus tidak benar-benar bebas dalam mengekspresikan pendapat.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai bahwa pembekuan BEM FISIP Unair tidak terlepas dari pengaruh birokrasi kampus yang kental dengan kekuasaan. Infrastruktur politik yang kuat mengendalikan kampus, dan ini menciptakan ketergantungan yang merugikan kebebasan akademik.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa pembatasan kebebasan akademik adalah masalah serius. Namun, kenyataannya, upaya untuk membatasi kebebasan ini justru semakin menguat. Narasi demokrasi santun yang dilontarkan oleh Presiden Prabowo hanya menjadi alat untuk melemahkan kebebasan sipil dan akademik.
Ahli Hukum Tata Negara, Herlambang P Wiratraman, menilai bahwa pembekuan BEM FISIP Unair menunjukkan semakin kuatnya gejala antikritik di kampus. Sikap reaktif terhadap kritik merupakan bentuk pendisiplinan yang melemahkan kultur kritis. Ini adalah masalah yang sudah ada sejak era pemerintahan sebelumnya.
Ketergantungan kampus terhadap pemerintah menciptakan suasana di mana kritik dianggap sebagai ancaman. Meskipun pemerintah seharusnya terbuka terhadap kritik, kenyataannya, rektor dan birokrasi kampus lebih memilih untuk meredam suara-suara kritis.
Narasi demokrasi santun yang tampaknya tidak bermasalah, pada kenyataannya, tidak menjamin bahwa pemerintah akan mendengarkan aspirasi masyarakat. Jika tidak ada jaminan bahwa suara rakyat akan didengar, maka protes dan kritik akan terus tertekan.
Meskipun ada pernyataan dari Menteri Pendidikan Tinggi bahwa kampus harus menjalankan kebebasan akademik, kenyataannya, kebebasan ini sering kali dibatasi oleh tuntutan akuntabilitas yang tidak jelas. Kampus seharusnya menjadi penjaga demokrasi, tetapi jika terkooptasi oleh kekuasaan, maka tanggung jawab tersebut akan hilang.
Narasi demokrasi yang santun seharusnya tidak menghalangi suara kritis. Namun, jika situasi semakin memburuk dan kebebasan dibungkam, maka protes keras akan menjadi satu-satunya jalan yang tersisa.
Sumber Tirto/pram