portal kabar – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah memecah Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga kementerian terpisah. Kini, kita menyaksikan lahirnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan.
Pembentukan Kemendikdasmen diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan yang ada di jenjang pendidikan yang diamanatkan oleh konstitusi. Presiden Prabowo telah menunjuk Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, di mana ia akan didampingi oleh dua wakil menteri, yaitu Fajar Riza Ul Haq dan Atip Latipulhayat.
Harapan masyarakat terhadap Kemendikdasmen adalah agar tidak terjebak dalam rutinitas birokrasi yang hanya berputar pada pengubahan kurikulum tanpa adanya evaluasi yang mendalam. Perubahan kurikulum seharusnya dilakukan dengan persiapan yang matang. Para pengamat pendidikan mengingatkan agar Mendikdasmen Abdul Mu’ti tidak mengulangi kesalahan kebijakan ‘Merdeka Belajar’ yang terjadi di era Menteri Nadiem Makarim.
Di luar masalah kurikulum, ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Kemendikdasmen, terutama dalam hal kualitas dan aksesibilitas pendidikan yang harus diperbaiki secara merata. Kesejahteraan guru juga harus diperhatikan, tidak hanya menjadi sekadar janji dalam dokumen visi-misi kampanye.
Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi dari Persatuan Pendidikan dan Guru (P2G), mengungkapkan bahwa kesalahan utama dalam program Merdeka Belajar di era Nadiem adalah implementasinya yang tanpa kajian terlebih dahulu. Akibatnya, evaluasi program baru dilakukan setelah kebijakan diterapkan di banyak sekolah.
“Kebijakan yang diambil tanpa kajian dan evaluasi akan membuat kesalahan yang sama terulang,” ujar Iman.
Iman menambahkan bahwa tidak masalah jika Merdeka Belajar dilanjutkan, asalkan Kemendikdasmen saat ini melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Penting untuk melakukan kajian atas pencapaian dan masalah yang muncul akibat program Merdeka Belajar.
Lebih jauh, Iman menilai bahwa kebijakan Merdeka Belajar terlalu banyak disertai jargon yang mirip dengan strategi pemasaran. Pelatihan bagi guru dalam menerapkan kurikulum merdeka pun masih belum merata dan terfokus pada urusan administratif.
“Pendekatan yang digunakan juga terkesan monoton dengan hanya mengandalkan satu platform,” tambah Iman.
Survei nasional P2G menunjukkan bahwa 83,4 persen guru merasa bahwa keberadaan platform merdeka mengajar (PMM) justru menjadi beban administrasi digital. PMM seharusnya menjadi alat untuk memudahkan guru dalam belajar, memperluas jaringan, dan berbagi praktik inspiratif, bukan menjadi tujuan utama.
Iman juga berharap agar Mendikdasmen dapat meningkatkan kualitas pendidikan, mengingat skor PISA Indonesia yang terus menurun selama era Nadiem Makarim. Pada 2018, skor PISA Indonesia untuk kemampuan membaca adalah 371, namun turun menjadi 359 pada 2022.
“Ini menunjukkan bahwa resep Merdeka Belajar belum berhasil,” ungkap Iman.
Dalam 100 hari pertama kerja Kemendikdasmen, Iman menekankan pentingnya membuktikan bahwa program kesejahteraan guru yang dijanjikan Presiden Prabowo akan benar-benar diterapkan. Prabowo berkomitmen memberikan tambahan penghasilan sebesar Rp2 juta per bulan untuk semua guru, baik negeri maupun swasta, honorer atau ASN mulai Oktober 2024.
P2G juga berharap agar pemerintahan Prabowo menepati janji untuk merekrut 1 juta guru PPPK, yang belum terlaksana di era Jokowi. Iman mendorong agar pengangkatan guru honorer menjadi ASN menjadi prioritas, serta membuka kembali rekrutmen guru PNS yang telah terhenti selama lima tahun.
Mendikdasmen diharapkan untuk menyusun ‘Blue Print Tata Kelola Guru’, yang mencakup lima masalah utama: kompetensi, kesejahteraan, distribusi, perlindungan, dan rekrutmen. Dalam hal kompetensi, perlu ada percepatan untuk menyelesaikan 1,6 juta guru yang belum disertifikasi.
“Banyak guru yang bekerja dalam kondisi tidak aman. Perlindungan terhadap guru harus lebih dari sekadar di atas kertas,” tegas Iman.
Fahmi Hatib, Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menilai pentingnya mendikdasmen untuk mengembalikan lembaga penyelenggaraan diklat bagi calon kepala sekolah dan pengawas. Kebijakan Merdeka Belajar yang mengandalkan pelatihan Program Guru Penggerak (PGP) seharusnya fokus pada peningkatan kompetensi guru dan inovasi dalam meningkatkan minat belajar siswa.
“Kita harus memastikan bahwa tujuan utama program PGP tidak hilang karena iming-iming jabatan,” kata Fahmi.
Fahmi juga mengusulkan agar Kemendikdasmen lebih banyak mengangkat guru melalui jalur CPNS dibandingkan PPPK. Ia berharap para guru PPPK dapat diangkat menjadi PNS untuk menciptakan kesetaraan profesi.
Edi Subkhan, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, mengingatkan agar Kemendikdasmen tidak terburu-buru dalam mengeluarkan kebijakan baru. Sebaiknya, 100 hari pertama kerja digunakan untuk mengevaluasi capaian menteri sebelumnya dan mengidentifikasi masalah yang ada.
“Jangan sampai kebijakan pendidikan hanya didasarkan pada pertimbangan politis, tetapi harus berdasarkan penelitian yang solid,” ungkap Edi.
Edi juga sepakat bahwa kurikulum merdeka perlunya dievaluasi secara menyeluruh, mengingat sudah lebih dari tiga tahun dilaksanakan.
Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti banyaknya kasus pungli dan korupsi di sekolah. Institusi pendidikan seharusnya bersih dari praktik korupsi, mengingat data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan ada 424 kasus korupsi di sekolah sejak 2015 dengan kerugian negara mencapai Rp916,67 miliar.
JPPI mendorong agar pendidikan di tingkat dasar dibenahi dengan serius, karena tahap ini sangat penting untuk kemajuan bangsa. Masih banyak anak SMP yang tidak bisa membaca atau memahami bacaan mereka.
Sementara itu, Mendikdasmen Abdul Mu’ti berkomitmen untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil kebijakan baru. Ia berencana untuk berdiskusi dengan Kementerian Keuangan terkait kesejahteraan guru, terutama guru honorer.
“Kita akan mengkaji kurikulum merdeka yang telah diterapkan, tanpa terburu-buru mengambil keputusan,” kata Mu’ti.
Sumber Tirto/pram