portal kabar – Presiden Prabowo Subianto saat ini sedang melakukan penataan di Kementerian Keuangan. Di bawah kepemimpinannya, mantan menteri pertahanan di era Jokowi ini melakukan sejumlah perubahan signifikan di Kemenkeu. Menariknya, untuk pertama kalinya, Kemenkeu kini memiliki tiga wakil menteri keuangan.
Dari luar, tampaknya tidak ada perubahan besar dalam struktur saat transisi dari pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo. Kursi tertinggi Kemenkeu masih dipegang oleh Sri Mulyani Indrawati, begitu juga dengan dua wakil menteri, Suahasil Nazara dan Thomas Djiwandono. Prabowo hanya menambah satu wakil menteri baru, Anggito Abimanyu, sehingga totalnya menjadi tiga.
Di bawah arahan Prabowo, jalur koordinasi Kemenkeu juga mengalami perubahan, yang kini tidak lagi berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 158 Tahun 2024, Prabowo secara resmi mengatur agar Kemenkeu bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dalam Perpres yang menggantikan Perpres Nomor 57 Tahun 2020 ini, Prabowo juga menghapus Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dari Kemenkeu dan membentuk dua Direktorat Jenderal baru. Yang pertama adalah Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, dan yang kedua adalah Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan. Selain itu, ada juga Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan yang baru dibentuk.
Hal ini tercantum dalam Pasal 7 Perpres 158/2024 yang menjelaskan struktur organisasi Kementerian Keuangan yang kini terdiri dari 10 Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, dua Badan, dan sembilan Staf Ahli.
“Dari yang saya lihat, Pak Prabowo tampaknya berusaha mengoptimalkan peran Kementerian Keuangan. Saya juga melihat bahwa rencananya untuk membentuk Badan Penerimaan Negara masih tetap ada,” ungkap Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menanggapi perubahan di Kemenkeu pada Kamis (7/11/2024).
Piter menambahkan bahwa penambahan satu kursi wakil menteri di Kemenkeu sudah direncanakan sebelumnya, di mana Anggito Abimanyu akan memimpin pembentukan Badan Penerimaan Negara. Anggito nantinya akan mengawasi tiga direktorat jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Menurut Piter, langkah ini sejalan dengan rencana awal Prabowo untuk mengelola penerimaan secara mandiri dan terpisah, yang merupakan langkah awal untuk mewujudkan Badan Penerimaan Negara.
“Badan ini adalah janji politik Prabowo. Dari informasi yang saya dapat, pembentukannya tetap akan dilakukan, meskipun prosesnya tidak mudah dan memerlukan persiapan yang panjang, bisa satu atau dua tahun. Oleh karena itu, Anggito ditempatkan terlebih dahulu,” jelasnya.
Selain itu, perubahan jalur koordinasi Kemenkeu yang kini langsung di bawah presiden dianggap oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sebagai langkah untuk mempermudah komunikasi mengenai kondisi fiskal dan pengambilan keputusan. Mengingat tugas Kemenkeu yang sangat strategis dalam mengatur fiskal negara.
“Dengan berada di bawah Presiden, ini akan memudahkan komunikasi mengenai kondisi fiskal,” kata peneliti ekonomi makro dan keuangan dari Indef, Riza Annisa Pujarama, pada Kamis (7/11/2024).
Riza menambahkan bahwa jalur koordinasi di bawah presiden sangat diperlukan, terutama mengingat kondisi fiskal Indonesia yang terbatas dan fleksibilitas yang semakin sempit akibat tingginya belanja bunga utang dan subsidi energi. Di sisi lain, penerimaan pajak justru cenderung menurun, sementara kebutuhan belanja semakin meningkat.
Dengan dibentuknya dua direktorat baru ini, Riza berharap dapat lebih fokus dan memberikan terobosan baru untuk mendorong transformasi ekonomi dan fiskal.
“Ini harus didukung dengan stabilitas sektor keuangan agar ekonomi dan fiskal dapat lebih baik, serta program dan target ekonomi yang dijanjikan dapat tercapai,” tambah Riza.
Ambisi Pertumbuhan Ekonomi dan Penerimaan Negara
Di sisi lain, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin, melihat bahwa perubahan di Kemenkeu kemungkinan besar dipengaruhi oleh ambisi Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Namun, ada dua kritik utama terhadap ambisi ini.
Pertama, ambisi ini tampak utopis jika ingin dicapai dalam waktu singkat, hanya dalam lima tahun. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2024 saja hanya mencapai 4,95 persen, yang berarti memerlukan kerja keras dan reformasi yang ekstra untuk mewujudkan ambisi tersebut.
“Menariknya, sebenarnya target 8 persen ini tidak tercantum dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran yang dipublikasikan. Dalam dokumen tersebut, pemerintahan Prabowo hanya menargetkan pertumbuhan 6 hingga 7 persen. Jadi, mimpi 8 persen ini terasa mengada-ada,” ungkapnya pada Kamis (7/11/2024).
Kedua, untuk mewujudkan ambisi tersebut, Prabowo berani menempatkan Kemenkeu di bawah komando presiden. Ini bisa diartikan sebagai langkah presiden untuk memastikan anggaran negara sejalan dengan program prioritasnya, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Namun, Prabowo menghadapi risiko besar. Mimpi 8 persen ini telah ia gaungkan selama kampanye, dan ia memiliki janji serta beban politik yang harus dipenuhi kepada masyarakat. “Jika ini tidak tercapai, bukan tidak mungkin kritik dan cibiran publik akan mengikutinya sepanjang masa kepresidenannya,” tambahnya.
Achmad juga menyoroti pembentukan direktorat baru. Dari perspektif organisasi, ini jelas tidak efisien. Organisasi yang besar cenderung memiliki langkah dan birokrasi yang lebih lambat. Kehadiran direktorat baru juga berpotensi menambah pegawai, membangun fasilitas baru, hingga pengangkatan kepala bidang baru.
“Artinya, banyak anggaran negara yang harus diinvestasikan hanya untuk membentuk direktorat baru,” jelasnya.
Jika tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara, maka pembentukan direktorat baru bukanlah solusi yang tepat. Pemerintah seharusnya meningkatkan penerimaan negara dengan menaikkan rasio pajak di sektor pertambangan yang kontribusinya masih sangat minim. Terlebih, sektor ini memiliki keuntungan tinggi dengan dampak lingkungan yang besar, tetapi belum dioptimalkan penerimaan pajaknya.
Di sisi lain, langkah progresif yang bisa dipertimbangkan pemerintah adalah mengenakan pajak khusus pada orang-orang super kaya di Indonesia. Pajak untuk orang kaya ini juga diterapkan di Spanyol.
Sebagai contoh, Spanyol mengenakan pajak khusus sebesar 1,7 persen terhadap total kekayaan individu yang termasuk dalam 0,5 persen orang terkaya di negara tersebut. Jika termasuk dalam 0,1 persen orang terkaya, besaran pajaknya meningkat menjadi 2,1 persen.
“Di Indonesia, pemerintah tampaknya belum berani menerapkan skema perpajakan serupa karena para pengusaha ini juga terlibat atau menjadi pelindung politisi saat ini,” ujarnya.
Padahal, dengan skema ini, Indonesia bisa mendapatkan pemasukan tambahan yang signifikan. Perhitungan terakhir Celios memprediksi negara bisa memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp81 triliun per tahun hanya dari memajaki 50 orang terkaya di Indonesia sebesar 2 persen saja.
Sumber Tirto/pram