portal kabar – Pernyataan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, yang mengizinkan kadernya untuk melanggar aturan asal tidak ketahuan sangat disayangkan dan jelas memicu kontroversi. Dalam Rapat Konsolidasi Pemenangan Pemilukada Provinsi, Kabupaten, dan Kota se-Jawa Tengah di Grand Mercure, Solo Baru, Sabtu (5/10/2024), pernyataan Bahlil menunjukkan ketidakpekaannya sebagai seorang pemimpin.
Bahlil memperkenalkan Respati Ardi dan Astrid Widayana sebagai Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), kemudian memberi semangat untuk bertarung di Pilkada. Namun, ia dengan santai mengatakan bahwa jika ada potensi kalah, maka harus mencari cara agar menang “dengan cara apapun,” termasuk menabrak aturan. Sikap semacam itu sangat tidak pantas dan mencerminkan kurangnya integritas.
Analis sosio-politik Musfi Romdoni menilai pernyataan Bahlil menunjukkan ketidakpahamannya terhadap tanggung jawab sebagai ketua umum. Dalam pandangannya, Bahlil tidak bisa membedakan antara forum tertutup dan terbuka, seolah-olah ia tidak peduli dengan konsekuensi dari ucapannya. Sikap ini sangat memprihatinkan, terutama bagi seorang menteri dan ketua partai.
Kunto Adi Wibowo, analis politik dari Unpad, menyatakan bahwa pernyataan Bahlil seharusnya tidak keluar dari mulut seorang pemimpin partai besar. Bahkan jika itu dianggap bercanda, konteksnya sangat tidak bermoral. Pernyataan tersebut menghina hukum dan kedaulatan rakyat, menciptakan kesan bahwa sebagai ketua partai, Bahlil merasa kebal terhadap hukum.
Annisa Alfath dari Perludem menekankan bahwa pernyataan ini menunjukkan pembenaran untuk melanggar aturan selama tidak ketahuan, bertentangan dengan prinsip negara hukum. Hal ini akan merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu dan menciptakan budaya impunitas di kalangan politisi.
Sementara itu, meski ada yang membela Bahlil, seperti politikus Golkar, Dave Laksono, yang mengklaim bahwa Bahlil memahami dan patuh pada hukum, banyak yang meragukan hal tersebut. Analis komunikasi politik Hendri Satrio bahkan menyebut pernyataan Bahlil sebagai gambaran kenyataan di lapangan, yang memang sangat disayangkan.
Pada akhirnya, pernyataan Bahlil menciptakan suasana yang tidak sehat dalam politik Indonesia dan menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki etika dan moral di kalangan pemimpin. Ini adalah contoh bagaimana pemimpin seharusnya tidak hanya berbicara dengan sembarangan, tetapi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat.
Sumber Tirto.id/pram