portal kabar – Penetapan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar mengejutkan mengenai korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah. Sahbirin, yang akrab disapa Paman Birin, diduga terlibat dalam praktik korupsi terkait beberapa proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) yang didanai oleh APBD Pemprov Kalimantan Selatan 2024.
Sebelumnya, KPK telah menangkap enam orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang berlangsung pada minggu lalu. Dalam kasus ini, terungkap adanya rekayasa dalam proses lelang proyek, di mana pihak swasta berkolaborasi dengan penyelenggara negara untuk memenangkan proyek. Sebagai balasannya, pihak swasta memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara, dan Paman Birin diduga termasuk dalam pihak yang menerima imbalan tersebut. KPK berhasil menyita uang tunai sebesar Rp12 miliar dan 500 dolar AS, bersama dengan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kasus ini.
Dalam pengungkapan barang bukti, KPK menemukan uang senilai Rp800 juta dalam kardus kuning dengan foto Sahbirin dan tulisan ‘Paman Birin’. Tidak hanya itu, KPK juga menyita Rp1 miliar dalam kardus coklat. Diduga, Paman Birin menerima komisi sebesar 5 persen dari lelang proyek di Dinas PUPR Kalsel.
Kasus yang menerpa Paman Birin, yang merupakan paman dari pebisnis tambang terkenal, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, semakin menegaskan bahwa korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa menjadi lahan subur bagi pejabat daerah yang ingin meraup keuntungan pribadi. Modus ini sudah sering terjadi, mengindikasikan lemahnya pengawasan di sektor PBJ pemerintah.
Orin Gusta Andini, Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, menjelaskan bahwa sektor PBJ memang menjadi ladang subur korupsi bagi pejabat pemda setelah kewenangan perizinan tidak lagi di tangan daerah. Korupsi ini sering kali dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi dalam proyek pemerintah.
“Di sinilah celah penyalahgunaan wewenang terjadi,” ungkap Orin. Menurutnya, individu yang memiliki kekuasaan sering kali merasa berhak untuk mendominasi pengambilan keputusan tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi, yang menjadikan kebijakan tersebut rentan terhadap kepentingan pribadi.
Motivasi korupsi kepala daerah dan jajarannya beragam, tetapi mayoritas dilakukan untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk Pilkada. “Ini juga sebagai cara untuk memastikan kelangsungan kekuasaan di masa depan, terutama jika mereka terpilih dengan cara yang tidak sehat,” tambah Orin.
Orin mencatat bahwa pengawasan internal di pemda sering kali lemah karena adanya konflik kepentingan atau hubungan kekuasaan dengan kepala daerah. Di sisi lain, pengawasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di daerah seharusnya bisa lebih ketat. Masyarakat juga harus dijamin perlindungannya jika menemukan atau melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Pengawasan dan partisipasi publik harus dibangun dengan baik, di samping memperbaiki sistem elektoral agar menjadi sehat dan bersih tanpa politik uang,” tegas Orin.
Data dari KPK menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga 2023, terdapat 601 kasus korupsi yang melibatkan wali kota, bupati, dan jajarannya. Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mencatat bahwa antara 2021-2023, setidaknya ada 61 kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Angka ini bisa lebih tinggi jika ditambahkan dengan catatan dari polisi dan kejaksaan.
Sektor pengadaan barang dan jasa adalah salah satu yang paling sering disasar oleh koruptor. KPK mencatat, dari 2004 hingga 2024, sudah ada 394 perkara korupsi terkait pengadaan barang atau jasa yang ditangani. Kasus ini adalah yang tertinggi kedua setelah gratifikasi/penyuapan dengan 1.035 kasus.
Sebagai contoh, bulan lalu KPK menetapkan empat tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi proyek Bandung Smart City. Para tersangka termasuk Ema Sumarna selaku Sekretaris Daerah Kota Bandung, serta Riantoro, Achmad Nugraha, dan Ferry Cahyadi Rismafuri yang merupakan Anggota DPRD Kota Bandung periode 2019-2024. Eks Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, sudah menjadi terdakwa dalam kasus ini dan terbukti memperkaya diri hingga Rp400 juta dari proyek tersebut.
Kasus lainnya terjadi pada Januari 2024, ketika KPK menahan Bupati Labuhan Batu, Sumatera Utara, Erik Adtrada Ritonga, yang diduga terlibat dalam korupsi pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu.
Pada 2023, KPK juga melakukan OTT dan menangkap Bupati Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, Muhammad Adil, serta puluhan pejabat strategis di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. KPK juga mencocokkan pihak swasta dalam kasus yang membelit Adil, yang terjerat dalam tiga klaster dugaan korupsi.
Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute), M Praswad Nugraha, menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa memang menjadi jenis korupsi dengan peringkat tertinggi yang ditangani KPK, mengingat besarnya alokasi dana dalam pengadaan pemerintah yang stabil dibandingkan proyek lainnya.
“Biaya politik yang tinggi dan keinginan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi menjadi faktor yang mendorong korupsi dalam sektor ini,” ungkap Abung, sapaan akrabnya.
Abung juga menyoroti adanya permintaan dari pihak pengawas internal dan aparat penegak hukum, menyebabkan saat ada OTT dalam kasus pengadaan barang dan jasa, itu hanya dianggap sebagai ‘hari sial’ karena persepsi bahwa pejabat lain hampir pasti terlibat juga.
“Ini yang membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi sulit,” tambahnya.
Dia percaya bahwa dengan pengawasan yang baik dan independen, potensi korupsi di sektor PBJ dapat diminimalisir. Namun, seringkali kejanggalan dalam pengadaan tidak terungkap karena pengawas diberikan ‘upeti’, yang menghambat kemampuan deteksi risiko internal.
“Penerapan proses pengawasan yang optimal adalah kunci pemberantasan korupsi PBJ di pemerintahan daerah,” tegas Abung.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengungkapkan bahwa PBJ merupakan sektor pengelolaan keuangan yang rawan korupsi, di mana kepentingan pengelola dan penyedia barang dan jasa sering kali bertemu. Penyedia berharap terpilih sebagai pemenang, sementara PPK memiliki kewenangan untuk menentukan tender.
“Walaupun sistem telah diperbaiki berulang kali, celah untuk dipermainkan tetap ada,” kata Ghufron.
Pertemuan antara kolusi dan penipuan memungkinkan PPK untuk mengakali sistem yang ada. Meski KPK berupaya melakukan pencegahan dengan kajian dan rekomendasi perbaikan, perubahan langsung pada sistem bukanlah kewenangan mereka.
“Sistem pengadaan kini juga menggunakan sistem elektronik, dari perencanaan hingga laporan pertanggungjawaban, dan bukan di bawah kewenangan KPK,” jelas Ghufron.
Dia berharap setiap kasus yang terjadi dapat menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan sistem PBJ ke depannya, dengan catatan bahwa sistem tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.
“Tanpa itikad baik, sistem justru bisa menyembunyikan atau melegalkan kecurangan dalam PBJ,” pungkas Ghufron.
Sumber Tirto.id/pram